CERPEN
KAMPUNG MIMPI
(Arina
Agin Safitri)
Aku adalah Jono, salah satu warga dari
kampung mimpi. Rambutku keriting, kulitku coklat seperti sawo matang, tinggiku
sekitar seratus tujuh puluh. Aku suka menginap dan tidur di rumah temanku. Ia
bernama tejo. Ia memiliki rambut yang gondrong, tubuhnya yang agak pendek dan
kulitnya yang hitam legam dengan mata yang lebar membuatnya terlihat galak dan
menakutkan.
Kami adalah teman sejak kecil. Kami tinggal di kampung mimpi sejak kami masih kecil sampai sekarang. Kampung kami sama seperti kampung-kampung lain pada umumnya. Ada kepala kampung dan warga yang mendiami kampung ini. Hanya saja bedanya, kampungku tampak lebih sepi dari kampung kalian.
Kami adalah teman sejak kecil. Kami tinggal di kampung mimpi sejak kami masih kecil sampai sekarang. Kampung kami sama seperti kampung-kampung lain pada umumnya. Ada kepala kampung dan warga yang mendiami kampung ini. Hanya saja bedanya, kampungku tampak lebih sepi dari kampung kalian.
Kami senang tinggal di kampung kami.
Karena di kampung ini kita tidak harus bekerja, tidak harus rapat, dan
lain-lain. Di kampung kami, semua warganya hanya tidur untuk bermimpi. Itulah
tradisi dari kampung kami. Entah dari mana tradisi tersebut berasal dan dapat
berlaku di kampung kami. Aku tidak tahu.
Warga kampung kami kesehariannya hanya
tidur untuk bermimpi. Mereka terbangun ketika lapar saja, yaitu bangun untuk
mencari makan dan minum. Setelah itu tak ada kegiatan lain lagi dan kembali
tidur. Sebenarnya aku lelah dengan semua ini. Aku ingin hidup seperti
orang-orang normal lainnya. Yang memiliki kegiatan dan kesibukan untuk bekerja,
jalan-jalan, silaturrahmi dengan teman. Tapi apalah daya ini adalah sebuah
tradisi dari kampung kami.
Banyak orang dari jauh yang datang ke
kampung kami hanya untuk melihat apakah benar kampung kami berisi orang-orang
yang tidur hanya untuk bermipi sebagai kesehariannya. Namun itu pun hanya
sebentar, karena mereka tak akan mendapatkan informasi apapun dari kami, karena
kami semua sedang bermimpi dalam tidur yang lelap.
Saat matahari mulai meninggi itu
menandakan bahwa hari telah siang. Aku dan Tejo terbangun karena lapar. Kami
pun pergi ke kebun untuk mencari makanan yang bisa dimakan. Setelah lelah
berkeliling kebun, akhirnya kami menemukan pohon ketela yang sedang berbuah.
Kami berencana untuk membuat ketela bakar untuk makan siang kami hari ini.
Tiba-tiba kami melihat seorang lelaki yang memakai baju dan celana dengan
begitu rapi layaknya orang kantoran, tetapi ia tak memakai tas. Ia berjalan
menuju ke arah kami. “Apakah ini benar kampung mimpi?”. Kata lelaki itu. “Iya”
jawab kami bersamaan. Lelaki itu tampak gembira sambil berkata “Bolehkah saya
mengobrol sebentar dengan kalian?”. “Maaf kami sedang makan, kami pun harus
kembali tidur untulk bermimpi” kataku dengan nada agak cuek. Aku dan Tejo pergi
meninggalkannya. Dia berkata sambil berteriak. “Apa kalian tidak lelah hidup
seperti ini? Kalian harus berubah. Kalian itu manusia biasa sepertiku. Kalian
butuh hiburan, kalian butuh pekerjaan, kalian butuh makan yang layak, kalian
butuh semua dan apapun yang kalian inginkan. Kalian tidak bisa hanya tidur
terus-terusan.” Setelah berkata seperti itu lelaki itu pun pergi.
***
“Lelaki itu benar jon. Kita ini sama
seperti dia. Tetapi kenapa kita hanya tidur dan bermimpi. Seharusnya kita tidak
hanya bermimpi di dalam angan-angan kita. Tetapi kita juga harus mewujudkan
mimpi-mimpi kita”. Kata Tejo yang tiba-tiba menghentikanku saat aku mulai
tertidur. Aku pun terkejut, kenapa Tejo tiba-tiba bicara seperti itu. “Jo kamu
kenapa? Kamu jangan berpikiran aneh-aneh. Mendingan kita tidur saja, kita
lanjutkan koleksi mimpi-mipi kita, yuh” kataku sembari berbaring. Ku biarkan
Tejo berpikir, sedang aku pura-pura tidur. Lama-kelamaan Tejo mulai berbaring di
atas ranjang dan memejamkan mata. Tetapi setelah Tejo berbicara seperti itu.
Aku mulai sadar dan berpikir bahwa apa yang diucapkan Tejo dan lelaki itu
benar. Tapi ya sudahlah ini adalah tradisi.
Semakin banyak orang yang berkunjung
ke kampung mimpi, kepala kampung kami pun mulai tidak nyaman karena banyaknya
orang yang mencoba merubah pikiran kami mengenai tradisi ini. Lama-lama kepala
kampung kami semakin membuat kami tertekan karena ia akan menghukum setiap
warga yang mencoba membantah perintah atau tidak menuruti perintahnya. Kami
semakin takut dengan berubahnya sikap kepala kampung kami. Kami serasa ingin
keluar dari kampung ini. Tetapi kepala kampung sudah mengatakan bahwa tak boleh
ada warga yang pergi dari kampung ini.
***
Tepat pukul dua belas siang datang
seorang laki-laki berbadan kekar, berkulit hitam legam, lebih legam dari pada
Tejo. Rambutnya yang sudah tak tampak lagi semakin membuatnya terlihat hitam.
Dia datang menuju ke arahku dan Tejo yang sedang minum di depan rumah. Tanpa
basa-basi dia bertanya “Dimana rumah kepala kampung ini?”. Aku dan Tejo saling
pandang satu sama lain, kemudian kami tertawa. Aku bertanya-tanya dalam hati,
lelaki macam apa kamu ini, sampai berani-beraninya datang mencari rumah kepala
kampung kami. Aku mengamati seluruh tubuh dari lelaki kekar itu. Matanya
melotot melihat aku dan Tejo. Ku lihat tubuhnya yang hitam, ternyata dari
tubuhnya mengeluarkan asap. Aku baru menyadarinya dan langsung berhenti
tertawa. Tejo belum menyadarinya, ia masih tetap tertawa terbahak-bahak. Aku
pun langsung memberikan isyarat kepada Tejo bahwa lelaki itu bukanlah lelaki
biasa. Tejo pun mengerti dan berhenti tertawa. Kami akhirnya memberitahu rumah
kepala kampung yang tak jauh dari tempat kami duduk.
Dengan langkah mantap lelaki kekar
bejalan menuju rumah kepala kampung. Sesampainya di depan rumah ia langsung
berteriak dengan lantang “Keluar kau kepala kampung! sini lawan aku kalau kau
berani!”. Dengan ekspresi marah karena ada yang berani menantang, kepala
kampung pun keluar dan berkata, “Siapa kau? berani-beraninya menantangku, apa
kau tak tahu siapa aku?”. “Tak usah banyak bicara, ayo cepat lawan aku!”.
Jawabnya dengan nada geram. Kepala kampung kami sangat marah dan mengeluarkan
pistol dari pinggangnya. Ia menembak lelaki kekar dengan yakin bahwa ia akan
menang. Tapi ternyata peluru itu tidak mampu menembus badan sang lelaki kekar
yang tubuhnya terus menerus mengeluarkan asap. Aku dan Tejo melongo dan
melotot, tak menyangka bahwa lelaki kekar itu memiliki tubuh tak mempan
ditembus oleh peluru. Kami bertanya-tanya ‘Siapakah lelaki itu sebenarnya? Dan
ia mempunyai maksud apa hingga datang ke kampung kami?’. Seluruh tubuh kepala
kampung kami gemetar, ia takut bukan kepalang. Sang lelaki kekar terus berjalan
ke arahnya. Kepala kampung semakin bertambah takut. Lelaki kekar sekarang sudah
berada dihadapan kepala kampung dan tangannya langsung meraih kepala lawan dan
menariknya seolah seperti orang yang sudah jago karate saja. Hinggi kepala
kampung kami meninggal saat itu juga. Aku dan Tejo yang menyaksikan kejadian
itu benar-benar merasa takut dan khawatir. Sejak kejadian itu si lelaki kekar
tersebut langsung dengan otomatis menjadi pengganti kepala kampung kami yang
telah meninggal.
Kampung kami semakin mencekam saja,
setelah datangnya si lelaki kekar yang tak jelas siapa dia sebenarnya. Ia sama
seperti kepala kampung kami yang dulu, ia ingin semua warga kampung tidur untuk
bermimpi, termasuk dirinya sendiri. Tetapi lelaki kekar ini lebih menakutkan
dari kepala kampung kami yang dulu. Ia mengancam bahwa siapapun yang berani
melawannya, ia tak segan-segan untuk membunuhnya dan apabila ada yang berani
kabur dari kampung mimpi ini, ia juga tak segan-segan untuk membunuhmya pula.
***
Malam ini Aku dan Tejo tak bisa
tidur. Kami masih terbayang-bayang kejadian yang telah kami saksikan siang
tadi. Kejadian yang membuat kami berdebar, khawatir, merinding, dan rasa takut
yang semakin menggerayangi tubuh kami semakin membuat kami tak bisa tidur
karenanya.
Kepala kampung yang baru semakin
bertingkah aneh. Ketika ia tidak bisa tidur untuk melanjutkan mimpinya, ia
menyuruh kami untuk mencarikan daging. Daging apapun ia makan, termasuk daging
manusia. Aku semakin miris dengan keadaan kampung mimpi ini. Kampung ini
sungguh tidak terawat. Apalagi dengan hadirnya kepala kampung yang baru yang
aneh dan menakutkan. Kebiasannya ketika tak bisa tidur membuatku tertekan. Aku
pernah melihatnya makan paha ayam mentah dengan lahapnya sedang
tulang-tulangnya ia kubur di dalam rumahnya. Aku takut kalau sudah tidak ada
daging yang tersisa ia akan melahapku layaknya seekor harimau yang menerkam
mangsanya.
***
Keesokan harinya datang lelaki tua
yang berpakaian serba putih ke kampung kami. Wajahnya begitu cerah dan
kewibawannya begitu tampak jelas. Aku melihatnya saat Aku sedang makan di teras
rumahnya Tejo, lagi-lagi seseorang menghampiri kami untuk menanyakan dimana
letak rumah kepala kampung kami berada. Kami merasa bahwa ia akan menyelamatkan
kami dari kekejaman si lelaki kekar. Sosok yang datang menyelamatkan orang yang
tertindas, ia bagai sang hero yang datang untuk menyelamatkan kami.
Ada harapan yang muncul ketika
lelaki tua itu datang. Aku merasa bahwa dialah malaikat penyelamat aku dan
warga kampung. Rambutnya yang berwarna putih, kulitnya yang putih, wajahnya
yang begitu cerah, serta pakaiannya yang serba putih semakin membuat kami yakin
bahwa dialah sang hero penyelamt kami.
Kami melihat lelaki tua itu berjalan
dengan tenang dan santai menuju rumah kepala kampung kami. Langkahnya yang
begitu tenang benar-benar membuatku
berpikiran bahwa ia akan menyelamatkan kami, dengan melawan si lelaki kekar dan
ia pun menang.
***
Sekarang
langkah tenangnya telah membuatnya sampai tepat di depan rumah kepala kampung.
Yang ia lakukan sama seperti lelaki kekar dulu, yaitu menantang kepala kampung
kami. Aku dan Tejo memandang dengan wajah berseri-seri, yakin bahwa lelaki tua itu
akan menang.
“Keluar kau kepala kampung mimpi ini!
ayo lawan aku kalau kau benar-benar berani”. Kata lelaki tua itu dengan tetap
tenang. Tetapi kepala kampung kami belum juga keluar. “Hei... apa kau takut
untuk melawanku?”. Ia berkata sangat tenang sekali tanpa ada rasa takut pada
dirinya. Kepala kampung keluar dengan agak marah karena seseorang telah
mengganggunya saat ia sedang menyantap makanannya, ya... tampak di mulutnya
sedikit darah bekas makan.
Mereka berdua bertarung tanpa
menggunakan alat bantu apapun. Pertarungan tampak begitu sengit, semuanya
saling bertahan. Tetapi Aku dan Tejo tetap mendukung lelaki tua super hero
walau hanya dalam hati. Sesekali kepala kampung terjatuh karena serangan lelaki
tua, begitu juga sebalikya. Pertarungan berlangsung begitu lama karena mereka
sama-sama kuat.
Lelaki tua itu masih tampak begitu
tenang, itulah yang sangat membuat kami yakin bahwa dialah melaikat penyelamat
kami. Mereka tiba-tiba saling berbisik. Anehnya sang lelaki tua terjatuh dan
sepertinya ia mati. Entah apa yang dilakukan si lelaki kekar sambil berbisik
sampai-sampai membuat lelaki tua terbaring tak berdaya. Aku dan Tejo
bertanya-tanya. “Apa yang telah ia perbuat sampai malaikat yang kita harapkan
menjadi hero penolong tak berdaya dan mati?” kata Tejo dengan wajah kaget dan
sedih. “Aku juga tak tahu jo, kenapa hero kita malah mati? Kenapa hero tidak
seperti yang di tipi-tipi?” kataku. Tejo tak kuasa melihat apa yang telah
terjadi. Dia pun masuk ke kamar.
***
Malam harinya ketika kami beranjak
tidur. Tejo mengungkapkan isi hatinya yang tak ingin lagi berada di kampung
ini. “Jon, aku sudah tidak mau lagi tinggal di kampung mimpi ini”. “Kenapa jo
kamu berpikian seperti itu?”. Kataku penasaran. “kepala kampung kita sudah
bertindak di luar batas jon”. “Aku tahu hal itu, tapi apa yang bisa kita lakukan?
Satu persatu para penolong kita dibunuhnya. Apa kamu tidak ingat bahwa di
pernah berkata bahwa siapapun warga dari kampung ini yang ingin melarikan diri
dari sini tidak akan segan-segan ia membunuhnya.” Kataku dengan nada
menasehati. “Aku juga tahu hal itu jon, tapi kita bisa pergi diam-diam dimalam
hari.” Tejo berkata sambil ngotot. “terserah kamu jo, aku nggak mau! itu
terlalu beresiko.” kataku sambil pergi meninggalkan Tejo sendiri.
Ternyata ancaman itu bukanlah
gertakan semata. Tetapi itu semua nyata!. Banyak warga yang ingin pergi dari
kampung ini. Setelah keesokan harinya banyak juga yang meninggal karena hal
itu. Aku juga menemukan kepala Tejo yang telah tergantung di pagar pintu masuk
kampung mimpi.
Kampungku begitu mengerikan. Kami
semua yang berada di kampung ini merasa tertekan karena ulah kepala kampung si
lelaki berbadan kekar. Lelaki kekar yang tak punya hati, yang telah tega
membunuh orang-orang yang membantah dan tidak menuruti perintahnya. Ah, ini
begitu menyesakkan, aku sudah tidak sanggup lagi menceritakan keadaan kampungku
sekarang ini. Datanglah sendiri kalau kalian ingin melihat kampungku. Datanglah
kalau kalian berani. Lihatlah apa yang terjadi di sini. Selamatkanlah kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar