Pages

Jumat, 31 Oktober 2014

CERPEN

KAMPUNG MIMPI
(Arina Agin Safitri)
Aku adalah Jono, salah satu warga dari kampung mimpi. Rambutku keriting, kulitku coklat seperti sawo matang, tinggiku sekitar seratus tujuh puluh. Aku suka menginap dan tidur di rumah temanku. Ia bernama tejo. Ia memiliki rambut yang gondrong, tubuhnya yang agak pendek dan kulitnya yang hitam legam dengan mata yang lebar membuatnya terlihat galak dan menakutkan.
Kami adalah teman sejak kecil. Kami tinggal di kampung mimpi sejak kami masih kecil sampai sekarang. Kampung kami sama seperti kampung-kampung lain pada umumnya. Ada kepala kampung dan warga yang mendiami kampung ini. Hanya saja bedanya, kampungku tampak lebih sepi dari kampung kalian.
Kami senang tinggal di kampung kami. Karena di kampung ini kita tidak harus bekerja, tidak harus rapat, dan lain-lain. Di kampung kami, semua warganya hanya tidur untuk bermimpi. Itulah tradisi dari kampung kami. Entah dari mana tradisi tersebut berasal dan dapat berlaku di kampung kami. Aku tidak tahu.
Warga kampung kami kesehariannya hanya tidur untuk bermimpi. Mereka terbangun ketika lapar saja, yaitu bangun untuk mencari makan dan minum. Setelah itu tak ada kegiatan lain lagi dan kembali tidur. Sebenarnya aku lelah dengan semua ini. Aku ingin hidup seperti orang-orang normal lainnya. Yang memiliki kegiatan dan kesibukan untuk bekerja, jalan-jalan, silaturrahmi dengan teman. Tapi apalah daya ini adalah sebuah tradisi dari kampung kami.
Banyak orang dari jauh yang datang ke kampung kami hanya untuk melihat apakah benar kampung kami berisi orang-orang yang tidur hanya untuk bermipi sebagai kesehariannya. Namun itu pun hanya sebentar, karena mereka tak akan mendapatkan informasi apapun dari kami, karena kami semua sedang bermimpi dalam tidur yang lelap.
Saat matahari mulai meninggi itu menandakan bahwa hari telah siang. Aku dan Tejo terbangun karena lapar. Kami pun pergi ke kebun untuk mencari makanan yang bisa dimakan. Setelah lelah berkeliling kebun, akhirnya kami menemukan pohon ketela yang sedang berbuah. Kami berencana untuk membuat ketela bakar untuk makan siang kami hari ini. Tiba-tiba kami melihat seorang lelaki yang memakai baju dan celana dengan begitu rapi layaknya orang kantoran, tetapi ia tak memakai tas. Ia berjalan menuju ke arah kami. “Apakah ini benar kampung mimpi?”. Kata lelaki itu. “Iya” jawab kami bersamaan. Lelaki itu tampak gembira sambil berkata “Bolehkah saya mengobrol sebentar dengan kalian?”. “Maaf kami sedang makan, kami pun harus kembali tidur untulk bermimpi” kataku dengan nada agak cuek. Aku dan Tejo pergi meninggalkannya. Dia berkata sambil berteriak. “Apa kalian tidak lelah hidup seperti ini? Kalian harus berubah. Kalian itu manusia biasa sepertiku. Kalian butuh hiburan, kalian butuh pekerjaan, kalian butuh makan yang layak, kalian butuh semua dan apapun yang kalian inginkan. Kalian tidak bisa hanya tidur terus-terusan.” Setelah berkata seperti itu lelaki itu pun pergi.
***
            “Lelaki itu benar jon. Kita ini sama seperti dia. Tetapi kenapa kita hanya tidur dan bermimpi. Seharusnya kita tidak hanya bermimpi di dalam angan-angan kita. Tetapi kita juga harus mewujudkan mimpi-mimpi kita”. Kata Tejo yang tiba-tiba menghentikanku saat aku mulai tertidur. Aku pun terkejut, kenapa Tejo tiba-tiba bicara seperti itu. “Jo kamu kenapa? Kamu jangan berpikiran aneh-aneh. Mendingan kita tidur saja, kita lanjutkan koleksi mimpi-mipi kita, yuh” kataku sembari berbaring. Ku biarkan Tejo berpikir, sedang aku pura-pura tidur. Lama-kelamaan Tejo mulai berbaring di atas ranjang dan memejamkan mata. Tetapi setelah Tejo berbicara seperti itu. Aku mulai sadar dan berpikir bahwa apa yang diucapkan Tejo dan lelaki itu benar. Tapi ya sudahlah ini adalah tradisi.
            Semakin banyak orang yang berkunjung ke kampung mimpi, kepala kampung kami pun mulai tidak nyaman karena banyaknya orang yang mencoba merubah pikiran kami mengenai tradisi ini. Lama-lama kepala kampung kami semakin membuat kami tertekan karena ia akan menghukum setiap warga yang mencoba membantah perintah atau tidak menuruti perintahnya. Kami semakin takut dengan berubahnya sikap kepala kampung kami. Kami serasa ingin keluar dari kampung ini. Tetapi kepala kampung sudah mengatakan bahwa tak boleh ada warga yang pergi dari kampung ini.
***
            Tepat pukul dua belas siang datang seorang laki-laki berbadan kekar, berkulit hitam legam, lebih legam dari pada Tejo. Rambutnya yang sudah tak tampak lagi semakin membuatnya terlihat hitam. Dia datang menuju ke arahku dan Tejo yang sedang minum di depan rumah. Tanpa basa-basi dia bertanya “Dimana rumah kepala kampung ini?”. Aku dan Tejo saling pandang satu sama lain, kemudian kami tertawa. Aku bertanya-tanya dalam hati, lelaki macam apa kamu ini, sampai berani-beraninya datang mencari rumah kepala kampung kami. Aku mengamati seluruh tubuh dari lelaki kekar itu. Matanya melotot melihat aku dan Tejo. Ku lihat tubuhnya yang hitam, ternyata dari tubuhnya mengeluarkan asap. Aku baru menyadarinya dan langsung berhenti tertawa. Tejo belum menyadarinya, ia masih tetap tertawa terbahak-bahak. Aku pun langsung memberikan isyarat kepada Tejo bahwa lelaki itu bukanlah lelaki biasa. Tejo pun mengerti dan berhenti tertawa. Kami akhirnya memberitahu rumah kepala kampung yang tak jauh dari tempat kami duduk.
            Dengan langkah mantap lelaki kekar bejalan menuju rumah kepala kampung. Sesampainya di depan rumah ia langsung berteriak dengan lantang “Keluar kau kepala kampung! sini lawan aku kalau kau berani!”. Dengan ekspresi marah karena ada yang berani menantang, kepala kampung pun keluar dan berkata, “Siapa kau? berani-beraninya menantangku, apa kau tak tahu siapa aku?”. “Tak usah banyak bicara, ayo cepat lawan aku!”. Jawabnya dengan nada geram. Kepala kampung kami sangat marah dan mengeluarkan pistol dari pinggangnya. Ia menembak lelaki kekar dengan yakin bahwa ia akan menang. Tapi ternyata peluru itu tidak mampu menembus badan sang lelaki kekar yang tubuhnya terus menerus mengeluarkan asap. Aku dan Tejo melongo dan melotot, tak menyangka bahwa lelaki kekar itu memiliki tubuh tak mempan ditembus oleh peluru. Kami bertanya-tanya ‘Siapakah lelaki itu sebenarnya? Dan ia mempunyai maksud apa hingga datang ke kampung kami?’. Seluruh tubuh kepala kampung kami gemetar, ia takut bukan kepalang. Sang lelaki kekar terus berjalan ke arahnya. Kepala kampung semakin bertambah takut. Lelaki kekar sekarang sudah berada dihadapan kepala kampung dan tangannya langsung meraih kepala lawan dan menariknya seolah seperti orang yang sudah jago karate saja. Hinggi kepala kampung kami meninggal saat itu juga. Aku dan Tejo yang menyaksikan kejadian itu benar-benar merasa takut dan khawatir. Sejak kejadian itu si lelaki kekar tersebut langsung dengan otomatis menjadi pengganti kepala kampung kami yang telah meninggal.
            Kampung kami semakin mencekam saja, setelah datangnya si lelaki kekar yang tak jelas siapa dia sebenarnya. Ia sama seperti kepala kampung kami yang dulu, ia ingin semua warga kampung tidur untuk bermimpi, termasuk dirinya sendiri. Tetapi lelaki kekar ini lebih menakutkan dari kepala kampung kami yang dulu. Ia mengancam bahwa siapapun yang berani melawannya, ia tak segan-segan untuk membunuhnya dan apabila ada yang berani kabur dari kampung mimpi ini, ia juga tak segan-segan untuk membunuhmya pula.
***
            Malam ini Aku dan Tejo tak bisa tidur. Kami masih terbayang-bayang kejadian yang telah kami saksikan siang tadi. Kejadian yang membuat kami berdebar, khawatir, merinding, dan rasa takut yang semakin menggerayangi tubuh kami semakin membuat kami tak bisa tidur karenanya.
            Kepala kampung yang baru semakin bertingkah aneh. Ketika ia tidak bisa tidur untuk melanjutkan mimpinya, ia menyuruh kami untuk mencarikan daging. Daging apapun ia makan, termasuk daging manusia. Aku semakin miris dengan keadaan kampung mimpi ini. Kampung ini sungguh tidak terawat. Apalagi dengan hadirnya kepala kampung yang baru yang aneh dan menakutkan. Kebiasannya ketika tak bisa tidur membuatku tertekan. Aku pernah melihatnya makan paha ayam mentah dengan lahapnya sedang tulang-tulangnya ia kubur di dalam rumahnya. Aku takut kalau sudah tidak ada daging yang tersisa ia akan melahapku layaknya seekor harimau yang menerkam mangsanya.
***
            Keesokan harinya datang lelaki tua yang berpakaian serba putih ke kampung kami. Wajahnya begitu cerah dan kewibawannya begitu tampak jelas. Aku melihatnya saat Aku sedang makan di teras rumahnya Tejo, lagi-lagi seseorang menghampiri kami untuk menanyakan dimana letak rumah kepala kampung kami berada. Kami merasa bahwa ia akan menyelamatkan kami dari kekejaman si lelaki kekar. Sosok yang datang menyelamatkan orang yang tertindas, ia bagai sang hero yang datang untuk menyelamatkan kami.
            Ada harapan yang muncul ketika lelaki tua itu datang. Aku merasa bahwa dialah malaikat penyelamat aku dan warga kampung. Rambutnya yang berwarna putih, kulitnya yang putih, wajahnya yang begitu cerah, serta pakaiannya yang serba putih semakin membuat kami yakin bahwa dialah sang hero penyelamt kami.
            Kami melihat lelaki tua itu berjalan dengan tenang dan santai menuju rumah kepala kampung kami. Langkahnya yang begitu  tenang benar-benar membuatku berpikiran bahwa ia akan menyelamatkan kami, dengan melawan si lelaki kekar dan ia pun menang.
***
Sekarang langkah tenangnya telah membuatnya sampai tepat di depan rumah kepala kampung. Yang ia lakukan sama seperti lelaki kekar dulu, yaitu menantang kepala kampung kami. Aku dan Tejo memandang dengan wajah berseri-seri, yakin bahwa lelaki tua itu akan menang.
“Keluar kau kepala kampung mimpi ini! ayo lawan aku kalau kau benar-benar berani”. Kata lelaki tua itu dengan tetap tenang. Tetapi kepala kampung kami belum juga keluar. “Hei... apa kau takut untuk melawanku?”. Ia berkata sangat tenang sekali tanpa ada rasa takut pada dirinya. Kepala kampung keluar dengan agak marah karena seseorang telah mengganggunya saat ia sedang menyantap makanannya, ya... tampak di mulutnya sedikit darah bekas makan.
Mereka berdua bertarung tanpa menggunakan alat bantu apapun. Pertarungan tampak begitu sengit, semuanya saling bertahan. Tetapi Aku dan Tejo tetap mendukung lelaki tua super hero walau hanya dalam hati. Sesekali kepala kampung terjatuh karena serangan lelaki tua, begitu juga sebalikya. Pertarungan berlangsung begitu lama karena mereka sama-sama kuat.
Lelaki tua itu masih tampak begitu tenang, itulah yang sangat membuat kami yakin bahwa dialah melaikat penyelamat kami. Mereka tiba-tiba saling berbisik. Anehnya sang lelaki tua terjatuh dan sepertinya ia mati. Entah apa yang dilakukan si lelaki kekar sambil berbisik sampai-sampai membuat lelaki tua terbaring tak berdaya. Aku dan Tejo bertanya-tanya. “Apa yang telah ia perbuat sampai malaikat yang kita harapkan menjadi hero penolong tak berdaya dan mati?” kata Tejo dengan wajah kaget dan sedih. “Aku juga tak tahu jo, kenapa hero kita malah mati? Kenapa hero tidak seperti yang di tipi-tipi?” kataku. Tejo tak kuasa melihat apa yang telah terjadi. Dia pun masuk ke kamar.
***
            Malam harinya ketika kami beranjak tidur. Tejo mengungkapkan isi hatinya yang tak ingin lagi berada di kampung ini. “Jon, aku sudah tidak mau lagi tinggal di kampung mimpi ini”. “Kenapa jo kamu berpikian seperti itu?”. Kataku penasaran. “kepala kampung kita sudah bertindak di luar batas jon”. “Aku tahu hal itu, tapi apa yang bisa kita lakukan? Satu persatu para penolong kita dibunuhnya. Apa kamu tidak ingat bahwa di pernah berkata bahwa siapapun warga dari kampung ini yang ingin melarikan diri dari sini tidak akan segan-segan ia membunuhnya.” Kataku dengan nada menasehati. “Aku juga tahu hal itu jon, tapi kita bisa pergi diam-diam dimalam hari.” Tejo berkata sambil ngotot. “terserah kamu jo, aku nggak mau! itu terlalu beresiko.” kataku sambil pergi meninggalkan Tejo sendiri.
            Ternyata ancaman itu bukanlah gertakan semata. Tetapi itu semua nyata!. Banyak warga yang ingin pergi dari kampung ini. Setelah keesokan harinya banyak juga yang meninggal karena hal itu. Aku juga menemukan kepala Tejo yang telah tergantung di pagar pintu masuk kampung mimpi.

            Kampungku begitu mengerikan. Kami semua yang berada di kampung ini merasa tertekan karena ulah kepala kampung si lelaki berbadan kekar. Lelaki kekar yang tak punya hati, yang telah tega membunuh orang-orang yang membantah dan tidak menuruti perintahnya. Ah, ini begitu menyesakkan, aku sudah tidak sanggup lagi menceritakan keadaan kampungku sekarang ini. Datanglah sendiri kalau kalian ingin melihat kampungku. Datanglah kalau kalian berani. Lihatlah apa yang terjadi di sini. Selamatkanlah kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar