Pages

Sabtu, 15 November 2014

CERPEN

Ketika seseorang datang
(Arina Agin Safitri)
Ketika mentari mulai muncul dengan malu-malu, sedikit demi sedikit cahayanya mulai tampak. Ketika itulah aku mulai terbangun. Ku bersihkan tempat tidurku, rumahku, menyapu, cuci piring, cuci baju, ke pasar, dan pekerjaan rumah lainnya. Setelah semua selesai baru aku bersiap untuk sekolah. Ku lihat kembali barang yang akan ku bawa hari ini. Takut kalau ada yang terselip atau tak terbawa.

Pagi ini cuaca begitu cerah dan segar. Itu karena aku selalu berangkat sekolah lebih pagi dari siswa lainnya. Rumahku memang terbilang jauh dari sekolahku, hal itulah yang memaksaku untuk berangkat lebih pagi. Setiap berangkat ataupun pulang sekolah aku selalu jalan kaki, sebab aku tidak punya banyak uang untuk naik bus ataupun angkutan umum lainnya.
Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu. Namun keluargaku selalu mendukungku untuk terus sekolah. Ayahku seorang lelaki hebat bagiku yang aku sayangi karena kerja kerasnya dan dukungan luar biasanya dalam hal pendidikan. Itu karena ayahku hanya lulusan SMP saja. Justru itulah yang membuat ayah ingin sekali melihat anak-anaknya jauh lebih baik darinya. Ayah sekarang sedang bekerja di tempat yang jauh yaitu di luar jawa. Ayahku seorang perantauan yang terkadang bisa berganti tempat kapan saja.
Ibu adalah seorang wanita yang paling aku sayangi, karena ia berani berkorban apapun demi anak-anaknya. Ibuku seorang penjual bakso di warung depan rumahku. Warung sederhana yang dibangun oleh ayahku sendiri. Hanya memiliki dua menu makanan saja yaitu bakso pedas dan bakso super pedas. Minumannya pun juga tidak beragam seperti warung-warung diluar sana. Ibuku hanya menyediakan menu minuman teh, sirup dan air putih. Warung kami bernama “Warung A2”. Ibuku sengaja menamakan warungnya dengan nama A2, karena nama itu diambil dari nama anak-anaknya, yaitu Aira dan Ana. Aira adalah aku, dan Ana adalah adikku. Dua nama yang berawalan dari huruf A. Ibu ingin anaknya selalu jadi yang pertama dan utama. Ana adalah satu-satunya adik yang ku punya.
***
            Bel berbunyi “tet tet tet” menandakan bahwa kelas sudah masuk. Aku duduk di bangku nomer dua tengah, sebangku dengan sahabat ku bernama sania. Ia anak orang kaya yang tidak memilih teman dari segi materi. Ia berambut lurus agak pendek, rambutnya yang hampir tak pernah dikuncir membuatnya tampak lebih feminin. Aku dan sania sudah berteman sejak SMP. Sekarang kami sudah kelas XI SMA. Kami selalu bersama saat berada  di sekolah. Persahabatan kami sudah seperti siput dan cangkangnya yang tak pernah terpisahkan. Ia selalu ada ketika aku sedang senang maupun sedih. Ia bagaikan malaikat buatku yang tak pernah jauh dariku.
            Tapi itu dulu! Dulu sebelum datang seorang siswa baru bernama Carolin. Anak pindahan dari kota yang tak pernah suka dengan orang miskin. Aku tak tahu mengapa ia begitu benci dengan orang miskin. Padahal dunia ini tidak hanya berisi orang kaya saja. Orang disebut kaya itu karena adanya orang miskin. Kita sama-sama manusia, tapi kenapa ia sangat membenci orang-orang yang kurang mampu sepertiku. Jangan bangga dengan apa yang kau punya sekarang, itu tidak akan selamanya jadi milikmu. Jangan bangga dengan materi orang tuamu yang kau pamerkan, itu semua bukan dari jerih payahmu sendiri.
            Carolin mulai menjadi sok berkuasa di sekolah. Ia memilih-milih teman yang notabene orang kaya saja. Bahkan ia langsung mengejudge orang miskin sebagai musuhnya tanpa alasan yang jelas. Gayanya seolah-olah ia adalah sang pemilik sekolahan ini. Yang menganggap dirinya princess sedang semua orang adalah prajuit dan dayang-dayang. Siswa baru tapi gayanya selangit. Aku pernah berpikir ‘kok ada ya orang yang seperti itu di dunia ini’. Gaya pakaiannya melebihi artis-artis terkenal. Rambutnya yang selalu gonta-ganti model dan warna, sepatunya yang tak mau warna hitam ia selalu memakai sepatu dengan warna-warna yang genjreng tiap harinya, tas yang selalu ganti setiap hari, seragam yang tak pernah lusuh.
            Sania termasuk dalam gerombolan Carolin, karena Sania adalah anak orang kaya. Sejak Sania masuk gerombolan Carolin, hubungan kami mulai ada jarak. Lama-kelamaan jarak itu semakin jauh. Sifat Sania mulai berubah seperti Carolin. Carolin datang seolah menjadi setan penghancur hubungan persahabatanku dengan Sania. Bahkan mungkin saja tak hanya aku, bisa jadi teman yang lain pun merasakan demikian halnya denganku. Gerombolan mereka semakin semena-mena dengan orang lain. Mereka memboking bangku di kantin sebagai tempat mereka berkumpul. Mereka melarang orang lain selain gerombolannya untuk memakainya, apalagi kalau sampai yang memakai adalah orang yang tidak ia sukai.
            Pernah suatu ketika ada seorang siswa perempuan yang bernama siti yang tidak sengaja menyenggol tempat duduk mereka saat mereka sedang makan. Carolin langsung marah dengan mata melotot dan wajah yang meledak-ledak. Seperti naga yang akan menyemburkan api dari mulutnya.
“HEI!! Loe punya mata enggak? Kalo jalan tuh lihat pake mata jangan pake dengkul. Loe nantang gue? Loe gak suka sama gue? Loe mau lapor guru? Atau kepala sekolah? SILAHKAN.....” Carolin yang marah-marah tak ada henti-hentinya. Nerocos seperti mercon yang dinyalakan.
“Maaf Car, aku engga sengaja. Sungguh.” Jawab perempuan itu dengan nada takut dan gemetar.
“Sebagai hukumannya karena loe sudah berani-beraninya nyenggol gue saat makan, loe harus bayarin makanan kita selama seminggu!” Kata Carolin dengan nada tinggi.
“Ttt.. tapi.. tapi.. aku ga punya uang sebanyak itu Car.” Kata Siti dengan mata berkaca-kaca.
“Gue enggak peduli!!! Bikin nafsu makan gue hilang aja.” dengan ngotot sambil pergi meninggalkan Siti.
Kejadian itu sudah menyebar ke seluruh siswa sekolah. Semua siswa semakin tidak berani dengan Carolin. Kecuali aku. Aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, apalagi sahabatku Sania termasuk di dalamnya. Aka tidak bisa membiarkan Sania ikut terpengaruh dengan sikap dan tingkah lakunya si Carolin. Akhirnya, aku pun nekad ingin menemui Sania yang sudah lama menjauh dariku. Aku menulis surat buat Sania untuk bertemu di taman belakang sekolah, sepulang sekolah.
Sania sahabatku, aku merasa ada jarak di antara kita untuk sekarang ini. Awalnya aku merasa ini hal biasa yang kadang ada dalam sebuah persahabatan. Tapi lama-lama aku merasa jarak antara kita ini semakin jauh saja. Aku ingin bicara denganmu sebagai seorang sahabat. Ku tunggu kamu di taman belakang sekolah besok, saat jam istirahat.
                                                                                    Aira
***
            Bel tanda istirahat berbunyi. Inilah saatnya harus menemui Sania dan aku ungkapkan semua uneg-uneg yang mengganjal dalam hati. Semenjak Sania ikut dalam gerombolan Carolin, ia memang sudah tidak duduk sebangku lagi dengankun. Itu sebabnya aku susah untuk menemuinya. Aku berharap dengan surat ini aku bisa berbicara empat mata dengannya. Saat bel istirahat berbunyi adalah hal yang paling aku tunggu-tunggu untuk saat ini. Ketika waktu istirahat tiba, aku melihat Sania buru-buru keluar dari dalam kelas. ‘Apaa Sania juga tidak sabar untuk bertemu denganku?’ itulah yang terbersit dalam benakku. Tetapi semoga saja hal itu yang terjadi. Aku langsung membereskan buku dan berlari menuju taman belakang sekolah. Dalam setiap langkah kakiku aku membayangkan ketika sampai di taman, aku melihat sahabatku Sania. Tetapi apa yang terjadi malah tidak sesuai dengan apa ytang aku harapkan. Yang tampak hanyalah bangku yang terletak di tengah taman bungta yang indah. Bangku yang hanya sendirian berdiri tegak tanpa ada yang mengisinya. Taman terasa sepi. Dalam benakku bertanya-tanya. ‘di sini tak ada Sania? Lalu kemana ia buru-buru saat bel istirahat berbunyi? Mengapa ia tak ada di sini untuk menemuiku? Apa ia marah denganku?’.
            Ku duduk di bangku dengan hati yang masih bertanya-tanya. Ku lihat sekeliling untuk memastikan, benarkah Sania benar-benar tak datang untuk menemuiku. Di balik pohon bunga sepatu terselip sebuah surat dengan amplop berwarna hitam. Ku ambil surat dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan bahagia karena Sania ternyata masih mau membalas suratku. Ada juga perasaan sedih dan takut kalau isi dari surat itu tak sesuai dengan apa yang ku harapkan.
Aku tak bisa menjadi sahabatmu lagi. Sekarang berkat Carolin aku sadar bahwa kita memang tidak cocok menjadi sahabat. Kita ityu lebih pantas menjadi musuh. Mulai sekarang tak usah kau perduli lagi denganku, akupun demikian. Aku tak akan peduli denganmu. Aku sudah menemukan teman yang pantas menjadi sahabatku. Lupakan masa lalu kita, jangan pernah ingat-ingat sedikitpun mengenai hal itu. Aku adalah aku, kamu adalah kamu, aku dan kamu tak akan menjadi kita.
            Aku tak tahan lagi untuk menahan air mataku yang terasa akan mengalir di pipi. Aku sangat terkejut dan tidak menyangka dengan apa yang telah ditulis Sania dalam surat beramplop hitam. Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung berlari mencari Sania keliling sekolah. Semua siswa melihatku. Tapi aku tidak perduli yang ada dalam pikianku hanyalah dimana Sania sahabatku.
            Sesampainya di kantin ku lihat Sania sedang makan dengan Carolin dan yang lainnya. Aku langsung menuju ke arah mereka.
“Sania apa maksudmu menulis surat ini? Ini semua bohong kan?” sambil ku usap air mataku yang mulai menetes.
“Itu benar Aira. Sekarang kita sudah tidak menjadi sahabat lagi. Jadi kamu gak usah pusing-pusing mikirin aku. Kita hidup sendiri-sendiri. Anggap saja kita tak saling kenal.” Jawab Sania dengan nada santai sambil makan mie ayam.
“Engga Sania, aku engga bisa ngehapus persahabatan kita begitu saja. Apa kamu lupa dengan kebersamaan kita dulu. Tapi kamu gengan gampangnya menganggap persahabatan kita sudah berakhir.” Air mata ku serasa tak bisa berhenti mengalir
“Hentikan bicaramu. Kamu sudah terlalu banyak bicara kali ini. Sania memang benar, kamu memang tak pantas berteman dengannya apalagi bersahabat.” Carolin ikut berbicara dengan gaya sok menjadi bos.
“Apa yang telah kamu lakukan dengan sahabatku Sania. Kamu telah merubah sifatnya yang baik menjadi buruk sepertimu.” Kataku dengan nada mulai marah dengan Carolin.
“Jaga ucapanmu baik-baik orang kampung. Kamu harus terima keputusan dari Saania. Terima kenyataan bahwa kamu dan Sania tidak pantas menjadi sahabat. Hahaha.” Carolin menyiramku dengan minuman yang ada di atas meja dan tertawa dengan nada puas.


Semenjak kejadian itu aku tidak pernah lagi berbicara dengan Sania. Semenjak itu pula dia benar-benar menjauhiku. Hubungan yang dulunya dekat sekali. Sekarang sudah berjarak, bahkan jarak itu sangat panjang. Sampai kami naik kelas XII pun keadaan itu masih sama. Kami seperti tak saling kenal satu sama lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar