CERPEN
Ketika seseorang datang
(Arina Agin Safitri)
Ketika mentari mulai muncul dengan
malu-malu, sedikit demi sedikit cahayanya mulai tampak. Ketika itulah aku mulai
terbangun. Ku bersihkan tempat tidurku, rumahku, menyapu, cuci piring, cuci
baju, ke pasar, dan pekerjaan rumah lainnya. Setelah semua selesai baru aku
bersiap untuk sekolah. Ku lihat kembali barang yang akan ku bawa hari ini.
Takut kalau ada yang terselip atau tak terbawa.
Pagi ini cuaca begitu cerah dan segar. Itu karena aku selalu berangkat sekolah lebih pagi dari siswa lainnya. Rumahku memang terbilang jauh dari sekolahku, hal itulah yang memaksaku untuk berangkat lebih pagi. Setiap berangkat ataupun pulang sekolah aku selalu jalan kaki, sebab aku tidak punya banyak uang untuk naik bus ataupun angkutan umum lainnya.
Aku lahir dari keluarga yang kurang
mampu. Namun keluargaku selalu mendukungku untuk terus sekolah. Ayahku seorang
lelaki hebat bagiku yang aku sayangi karena kerja kerasnya dan dukungan luar
biasanya dalam hal pendidikan. Itu karena ayahku hanya lulusan SMP saja. Justru
itulah yang membuat ayah ingin sekali melihat anak-anaknya jauh lebih baik
darinya. Ayah sekarang sedang bekerja di tempat yang jauh yaitu di luar jawa.
Ayahku seorang perantauan yang terkadang bisa berganti tempat kapan saja.
Ibu adalah seorang wanita yang paling
aku sayangi, karena ia berani berkorban apapun demi anak-anaknya. Ibuku seorang
penjual bakso di warung depan rumahku. Warung sederhana yang dibangun oleh ayahku
sendiri. Hanya memiliki dua menu makanan saja yaitu bakso pedas dan bakso super
pedas. Minumannya pun juga tidak beragam seperti warung-warung diluar sana.
Ibuku hanya menyediakan menu minuman teh, sirup dan air putih. Warung kami
bernama “Warung A2”. Ibuku sengaja menamakan warungnya dengan nama A2, karena
nama itu diambil dari nama anak-anaknya, yaitu Aira dan Ana. Aira adalah aku,
dan Ana adalah adikku. Dua nama yang berawalan dari huruf A. Ibu ingin anaknya
selalu jadi yang pertama dan utama. Ana adalah satu-satunya adik yang ku punya.
***
Bel berbunyi “tet tet tet”
menandakan bahwa kelas sudah masuk. Aku duduk di bangku nomer dua tengah,
sebangku dengan sahabat ku bernama sania. Ia anak orang kaya yang tidak memilih
teman dari segi materi. Ia berambut lurus agak pendek, rambutnya yang hampir
tak pernah dikuncir membuatnya tampak lebih feminin. Aku dan sania sudah
berteman sejak SMP. Sekarang kami sudah kelas XI SMA. Kami selalu bersama saat
berada di sekolah. Persahabatan kami
sudah seperti siput dan cangkangnya yang tak pernah terpisahkan. Ia selalu ada
ketika aku sedang senang maupun sedih. Ia bagaikan malaikat buatku yang tak
pernah jauh dariku.
Tapi itu dulu! Dulu sebelum datang
seorang siswa baru bernama Carolin. Anak pindahan dari kota yang tak pernah
suka dengan orang miskin. Aku tak tahu mengapa ia begitu benci dengan orang
miskin. Padahal dunia ini tidak hanya berisi orang kaya saja. Orang disebut
kaya itu karena adanya orang miskin. Kita sama-sama manusia, tapi kenapa ia
sangat membenci orang-orang yang kurang mampu sepertiku. Jangan bangga dengan
apa yang kau punya sekarang, itu tidak akan selamanya jadi milikmu. Jangan
bangga dengan materi orang tuamu yang kau pamerkan, itu semua bukan dari jerih
payahmu sendiri.
Carolin mulai menjadi sok berkuasa
di sekolah. Ia memilih-milih teman yang notabene orang kaya saja. Bahkan ia
langsung mengejudge orang miskin sebagai musuhnya tanpa alasan yang jelas.
Gayanya seolah-olah ia adalah sang pemilik sekolahan ini. Yang menganggap
dirinya princess sedang semua orang adalah prajuit dan dayang-dayang. Siswa
baru tapi gayanya selangit. Aku pernah berpikir ‘kok ada ya orang yang seperti
itu di dunia ini’. Gaya pakaiannya melebihi artis-artis terkenal. Rambutnya
yang selalu gonta-ganti model dan warna, sepatunya yang tak mau warna hitam ia selalu
memakai sepatu dengan warna-warna yang genjreng tiap harinya, tas yang selalu
ganti setiap hari, seragam yang tak pernah lusuh.
Sania termasuk dalam gerombolan
Carolin, karena Sania adalah anak orang kaya. Sejak Sania masuk gerombolan
Carolin, hubungan kami mulai ada jarak. Lama-kelamaan jarak itu semakin jauh.
Sifat Sania mulai berubah seperti Carolin. Carolin datang seolah menjadi setan penghancur
hubungan persahabatanku dengan Sania. Bahkan mungkin saja tak hanya aku, bisa
jadi teman yang lain pun merasakan demikian halnya denganku. Gerombolan mereka
semakin semena-mena dengan orang lain. Mereka memboking bangku di kantin
sebagai tempat mereka berkumpul. Mereka melarang orang lain selain
gerombolannya untuk memakainya, apalagi kalau sampai yang memakai adalah orang
yang tidak ia sukai.
Pernah suatu ketika ada seorang
siswa perempuan yang bernama siti yang tidak sengaja menyenggol tempat duduk
mereka saat mereka sedang makan. Carolin langsung marah dengan mata melotot dan
wajah yang meledak-ledak. Seperti naga yang akan menyemburkan api dari
mulutnya.
“HEI!!
Loe punya mata enggak? Kalo jalan tuh lihat pake mata jangan pake dengkul. Loe
nantang gue? Loe gak suka sama gue? Loe mau lapor guru? Atau kepala sekolah?
SILAHKAN.....” Carolin yang marah-marah tak ada henti-hentinya. Nerocos seperti
mercon yang dinyalakan.
“Maaf
Car, aku engga sengaja. Sungguh.” Jawab perempuan itu dengan nada takut dan
gemetar.
“Sebagai
hukumannya karena loe sudah berani-beraninya nyenggol gue saat makan, loe harus
bayarin makanan kita selama seminggu!” Kata Carolin dengan nada tinggi.
“Ttt..
tapi.. tapi.. aku ga punya uang sebanyak itu Car.” Kata Siti dengan mata
berkaca-kaca.
“Gue
enggak peduli!!! Bikin nafsu makan gue hilang aja.” dengan ngotot sambil pergi
meninggalkan Siti.
Kejadian
itu sudah menyebar ke seluruh siswa sekolah. Semua siswa semakin tidak berani
dengan Carolin. Kecuali aku. Aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, apalagi
sahabatku Sania termasuk di dalamnya. Aka tidak bisa membiarkan Sania ikut
terpengaruh dengan sikap dan tingkah lakunya si Carolin. Akhirnya, aku pun
nekad ingin menemui Sania yang sudah lama menjauh dariku. Aku menulis surat
buat Sania untuk bertemu di taman belakang sekolah, sepulang sekolah.
Sania sahabatku, aku
merasa ada jarak di antara kita untuk sekarang ini. Awalnya aku merasa ini hal
biasa yang kadang ada dalam sebuah persahabatan. Tapi lama-lama aku merasa
jarak antara kita ini semakin jauh saja. Aku ingin bicara denganmu sebagai
seorang sahabat. Ku tunggu kamu di taman belakang sekolah besok, saat jam
istirahat.
Aira
***
Bel tanda istirahat berbunyi. Inilah
saatnya harus menemui Sania dan aku ungkapkan semua uneg-uneg yang mengganjal
dalam hati. Semenjak Sania ikut dalam gerombolan Carolin, ia memang sudah tidak
duduk sebangku lagi dengankun. Itu sebabnya aku susah untuk menemuinya. Aku
berharap dengan surat ini aku bisa berbicara empat mata dengannya. Saat bel
istirahat berbunyi adalah hal yang paling aku tunggu-tunggu untuk saat ini.
Ketika waktu istirahat tiba, aku melihat Sania buru-buru keluar dari dalam
kelas. ‘Apaa Sania juga tidak sabar untuk bertemu denganku?’ itulah yang
terbersit dalam benakku. Tetapi semoga saja hal itu yang terjadi. Aku langsung
membereskan buku dan berlari menuju taman belakang sekolah. Dalam setiap
langkah kakiku aku membayangkan ketika sampai di taman, aku melihat sahabatku
Sania. Tetapi apa yang terjadi malah tidak sesuai dengan apa ytang aku
harapkan. Yang tampak hanyalah bangku yang terletak di tengah taman bungta yang
indah. Bangku yang hanya sendirian berdiri tegak tanpa ada yang mengisinya.
Taman terasa sepi. Dalam benakku bertanya-tanya. ‘di sini tak ada Sania? Lalu
kemana ia buru-buru saat bel istirahat berbunyi? Mengapa ia tak ada di sini
untuk menemuiku? Apa ia marah denganku?’.
Ku duduk di bangku dengan hati yang
masih bertanya-tanya. Ku lihat sekeliling untuk memastikan, benarkah Sania
benar-benar tak datang untuk menemuiku. Di balik pohon bunga sepatu terselip
sebuah surat dengan amplop berwarna hitam. Ku ambil surat dengan perasaan
campur aduk. Ada perasaan bahagia karena Sania ternyata masih mau membalas
suratku. Ada juga perasaan sedih dan takut kalau isi dari surat itu tak sesuai
dengan apa yang ku harapkan.
Aku tak bisa menjadi
sahabatmu lagi. Sekarang berkat Carolin aku sadar bahwa kita memang tidak cocok
menjadi sahabat. Kita ityu lebih pantas menjadi musuh. Mulai sekarang tak usah
kau perduli lagi denganku, akupun demikian. Aku tak akan peduli denganmu. Aku
sudah menemukan teman yang pantas menjadi sahabatku. Lupakan masa lalu kita, jangan
pernah ingat-ingat sedikitpun mengenai hal itu. Aku adalah aku, kamu adalah
kamu, aku dan kamu tak akan menjadi kita.
Aku tak tahan lagi untuk menahan air
mataku yang terasa akan mengalir di pipi. Aku sangat terkejut dan tidak
menyangka dengan apa yang telah ditulis Sania dalam surat beramplop hitam.
Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung berlari mencari Sania keliling
sekolah. Semua siswa melihatku. Tapi aku tidak perduli yang ada dalam pikianku
hanyalah dimana Sania sahabatku.
Sesampainya di kantin ku lihat Sania
sedang makan dengan Carolin dan yang lainnya. Aku langsung menuju ke arah
mereka.
“Sania
apa maksudmu menulis surat ini? Ini semua bohong kan?” sambil ku usap air
mataku yang mulai menetes.
“Itu
benar Aira. Sekarang kita sudah tidak menjadi sahabat lagi. Jadi kamu gak usah
pusing-pusing mikirin aku. Kita hidup sendiri-sendiri. Anggap saja kita tak
saling kenal.” Jawab Sania dengan nada santai sambil makan mie ayam.
“Engga
Sania, aku engga bisa ngehapus persahabatan kita begitu saja. Apa kamu lupa
dengan kebersamaan kita dulu. Tapi kamu gengan gampangnya menganggap
persahabatan kita sudah berakhir.” Air mata ku serasa tak bisa berhenti
mengalir
“Hentikan
bicaramu. Kamu sudah terlalu banyak bicara kali ini. Sania memang benar, kamu
memang tak pantas berteman dengannya apalagi bersahabat.” Carolin ikut
berbicara dengan gaya sok menjadi bos.
“Apa
yang telah kamu lakukan dengan sahabatku Sania. Kamu telah merubah sifatnya
yang baik menjadi buruk sepertimu.” Kataku dengan nada mulai marah dengan
Carolin.
“Jaga
ucapanmu baik-baik orang kampung. Kamu harus terima keputusan dari Saania.
Terima kenyataan bahwa kamu dan Sania tidak pantas menjadi sahabat. Hahaha.”
Carolin menyiramku dengan minuman yang ada di atas meja dan tertawa dengan nada
puas.
Semenjak
kejadian itu aku tidak pernah lagi berbicara dengan Sania. Semenjak itu pula
dia benar-benar menjauhiku. Hubungan yang dulunya dekat sekali. Sekarang sudah
berjarak, bahkan jarak itu sangat panjang. Sampai kami naik kelas XII pun
keadaan itu masih sama. Kami seperti tak saling kenal satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar